Gambar 1. Citra Google Earth Formasi Kerek (Sumber: Salahuddin Husein)
Bila beruntung, dan geolog di lapangan sangat membutuhkan keberuntungan, kerapkali lokasi fieldwork kita secara kebetulan didukung oleh citra satelit Google Earth yang terlihat dengan jelas, dan tentunya gratis.
Kali ini yang dikunjungi untuk melakukan fieldwork ialah Formasi Kerek berumur Miosen Tengah yang tersingkap di dasar Kali Bancak, Grobogan. Kunjungan ini hanya berselang dua bulan dari rilis citra satelit terbaru dari Google Earth.
Pada citra tersebut, terlihat jelas: (1) pelamparan lapisan, (2) orientasi kemiringan perlapisan, (3) penebalan dan penipisan perlapisan, (4) potong-memotong perlapisan saat sedimentasi, dan (5) offset sesar geser serta kelurusannya.
Kelima informasi geologi yang sangat berharga tersebut bisa dianalisis sambil minum es teh di warung dekat pinggir kali, sebelum melihat batuannya secara langsung.
Setidaknya kita sudah mengantisipasi bahwa sebentar lagi akan mengunjungi fenomena geologi yang dahulu kala berupa kipas-kipas dasar laut dalam, yang terletak di belakang busur Jawa saat itu.
Gambar 2. Ilustrasi Kipas Dasar Laut (Sumber: Salahuddin Husein)
Dimana setiap kipas akan saling bertumpuk, sebelum mereka mengalami deformasi saat Cekungan Kendeng terkontraksi dan terangkat di akhir Neogen.
Dugaan ini terkonfirmasi dengan cepat oleh data-data sedimentologi yang sangat berlimpah: struktur gradasi khas endapan turbidit yang disusul oleh endapan arus traksi, endapan kipas (lobe) berbutir pasir yang melampar luas dan menyisip diantara endapan jeda (interlobe) berlumpur, serta disana-sini mencuat endapan tanggul (levee).
Gambar 3. Sedimentologi Cekungan Kendeng (Salahuddin Husein)
Last but not least, struktur sesar yang memotong singkapan ini berjurus timurlaut-baratdaya (NE-SW), yang biasanya diinterpretasikan harus menjadi sesar geser sinistral, mengingat masih turunan pola tektonik Meratus yang merespon tegasan konvergensi lempeng di selatan Jawa, ternyata justru merupakan sesar geser dekstral.
Just remember, observation first, followed by synthesis, and concluded by your own free (without dictated by previous researches) interpretation.
Banyak sekali mekanisme deformasi lokal yang dapat menyimpang dari konsep regional hasil peneliti terdahulu. Deformasi Kendeng melahirkan sabuk sesar anjak-lipatan (fold-thrust belt), dimana Sesar Kedungjati ini menjadi dekstral karena menjadi patahan sobek (tear fault) yang memfasilitasi lebih majunya sesar anjak di sebelah barat ke arah utara daripada sesar anjak di sebelah timur.
Tulisan ini terinspirasi dari Kuliah Online, yang difasilitasi Fakultas Geografi Universitas Muhammadiyah Surakarta (16 s.d 22 April 2020)
Permasalahan Dalam Pembelajaran Penginderaan Jauh
Geografi pada Kurikulum 2013 memiliki tujuan agar siswa mampu memahami pola spasial, lingkungan dan kewilayahan serta proses yang berkaitan dengan gejala geosfera dalam konteks nasional dan global. Selain itu juga bertujuan agar siswa menguasai keterampilan dasar dalam memperoleh data dan informasi geografis.
Dalam dua tujuan tersebut dapat dikatakan bahwa salah satu materi utama dalam geografi di Tingkat SMA adalah Penginderaan Jauh. Materi ini mempunyai keunggulan untuk memaksimalkan pemahaman pola spasial, kelingkungan dan kewilayah bagi siswa, dan juga dapat memberikan keterampilan dalam memperoleh data dan informasi geografis bagi siswa.
Pembelajaran Penginderaan
Jauh yang sangat penting, dibarengi dengan tingkat kompleksitas yang tinggi
membuat guru SMA mengalami kesulitan. Berbagai permasalahan dalam pembelajaran
Penginderaan Jauh di tingkat SMA antara lain; 1) Guru kurang menguasai materi
Penginderaan Jauh sehingga masih menjadi kendala dalam memahami dan
menyampaikan materinya; 2) Guru kurang menggunakan metode pembelajaran yang
bervariasi dalam mengajar Penginderaan Jauh; 3) Guru dalam proses pembelajaran
tidak menggunakan media yang sesuai dengan materi; 4) Guru tidak pernah
mengikuti pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan oleh lembaga pendidika (Ningsih
dkk., 2016).
Masalah yang disampaikan di
atas bersumber dari guru geografinya. Selain dari guru tentu masalah juga dapat
disebabkan oleh kesalahan kurikulum pada materi penginderaan jauh, intake
siswa, ataupun daya dukung sarana dan prasarana yang ada di Sekolah.
Seperti kita ketahui, bahwa
di tingkat SMA geografi dimasukkan ke dalam rumpun Ilmu Pengetahuan Sosial
(IPS) atau Ilmu-ilmu Sosial. Tidak seperti rumpun Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)
atau MIA, sebagian besar sekolah belum menyediakan laboratorium khusus bagi geografi
untuk kegiatan pembelajaran.
Fokus pembelajaran
Penginderaan Jauh di SMA sepertinya masih pada taraf kognitif. Hal ini berbeda
di luar negeri, siswa setingkat SMA dilatih memanfaatkan Penginderaan Jauh
untuk memahami materi geografi lainnya (Cheung dkk., 2011), jadi fokus mereka pada pemanfaatan Teknologi Penginderaan
Jauh. Penginderaan jauh merupakan salah satu teknologi untuk memahami proses
keruangan (spasial) dan membantu berpikir secara geografis (think geographically) (Nellis, 1994).
Sering kita jumpai soal
ulangan harian atau bahkan Penilaian Akhir Semester (PAS) yang lebih fokus pada
pengukuran tingkat kognitif anak.
Pertanyaan seperti, Bagaimana definisi Penginderaan Jauh menurut
Lillesan & Kiefer? Masih menjadi soal favorit bagi guru-guru geografi.
Penugasan portofolio masing
jarang dilakukan. Padahal jenis penialain seperti ini lebih memungkinkan untuk
mengukur tingkat kognitif, psikomotorik, dan bahkan afektif siswa. Perlu adanya
penugasan portofolio dengan menggunakan teknologi Penginderaan Jauh.
Penelitian Terdahulu Dalam Pembelajaran Penginderaan
Jauh
Berbagai media pembelajaran
digunakan dalam pembelajaran geografi. Penggunakan media pembelajaran
interaktif terbukti efektif dalam meningkatkan hasil belajar siswa pada materi
Penginderaan Jauh (Hanim dkk., 2016) (Wahyudi, 2012), sayang kedua penelitian ini tidak menyebutkan medianya
secara spesifik seperti apa. Media pembelajaran berbasis Android efektif dalam
pembelajaran penginderaan jauh (Wardana dkk., 2019), sayangnya dalam penelitian ini juga tidak menyebutkan
secara spesifik nama dari aplikasi yang digunakan. Pembelajran materi ini juga
dapat mengggunakan diorama (Bagus Suprayogi & Perdana
Prasetya, 2020). Media pembelajaran
berbasis flash tidak cocok untuk pembelajaran penginderaan jauh (Fitria Rahmawati, 2014).
Bermacam model pembelajaran
juga telah digunakan dalam pembelajaran Penginderaan Jauh. Model pembelajaran
yang disarankan untuk materi Penginderaan Jauh adalah Project-Based Learning (Irawan, 2014). Inquiry-Based Learning dengan menggunakan balon udara juga
efektif dalam pembelajaran (Mountrakis & Triantakonstantis,
2012). Pengajaran Penginderaan
jauh dapat dilakukan dengan tatap muka (face-to-face),
blended, dan online, namun dari ketiganya yang paling efektif adalah pengajaran
online (Manzano-Agugliaro dkk., 2016). Pembelajaran online ini tentunya disertai penugasan
portofolio.
Teknologi terbaru dan modern
telah dimanfaatkan untuk pembelajaran geografi. Drone dapat membuat siswa fokus
memperhatikan materi penginderaan jauh pada sub materi citra foto udara (Rochaeni, 2019). Smarthphone Camera
Quadcopter mampu meningkatan motivasi siswa dalam belajar materi
penginderaan jauh (Al-Matna, 2018). Pemanfaatan teknologi memungkinkan dapat membantu
tercapainya tujuan pembelajaran Penginderaan Jauh.
Penginderaan Jauh dapat
dijadikan alat dalam melakukan analisis spasial terhadap objek kajian geografi.
Hal ini yang sering kali Guru Geografi lewatkan. Sebagian besar dari kita hanya
berfokus memberikan materi Penginderaan Jauh, seperti pengertiannya, perbedaan
foto udara dan citra satelit, pengertian interpretasi citra, jenis-jenis citra
dan lain sebagainya. Materi yang diberikan sering kali hanya berfokus pada buku
paket, sehingga kesannya sangat tekstual dan berupa menjejali otak siswa dengan
kognitif, tanpa dibarengi membekali siswa keterampilan (psikomotorik) dalam
memanfaatkan Penginderaan Jauh.
Google Earth Sebagai Solusi
Solusi ini disampaikan oleh
Bapak Agus Anggoro Sigit, M.Sc (Dosen Fakultas Geografi Universitas
Muhammadiyah Surakarta) dalam Kuliah Online (Kulon) dengan Guru-Guru Geografi
Indonesia yang tergabung dalam Komunitas Geografi pada 18 April 2020. Solusi
ini digunakan untuk Materi Kependudukan dengan memanfaatkan Teknologi
Penginderaan Jauh.
Pertama, buat sebuah tugas proyek
portofolio yang menarik minat siswa untuk belajar. Sebagai contoh, Siswa
diminta menghitung
perkiraan jumlah penduduk dilakukan dengan pendekatan jumlah bangunan rumah.
Citra yang sesuai untuk digunakan adalah Citra Resolusi Sangat Tinggi (CRST)
seperti Quickbird atau Ikonos atau citra lain yang memiliki resolusi tinggi.
Mengapa disarankan CRST? Karena citra
ini memungkinkan bangunan rumah tersadap dengan jelas. Penggunaan Google Earth
Pro dimungkinkan karena mampu menampakkan obyek bangunan rumah dengan baik.
Berikut contoh Citra Satelit Resolusi Tinggi (CRST) Quickbird di sebagian daerah Kab. Klaten tahun
2018.
Gambar 1. CSRT di daerah Ceper, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah (Sumber: CItra Quickbird Kabupaten Klaten 2018)
Kedua, Berikan materi yang
aplikatif dan sederhana agar mudah dicerna oleh siswa. Siswa perlu dikenalkan
dengan metode (pendekatan) sederhana perhitungan penduduk dengan basis zonasi.
Metode (pendekatan) perhitungannya antara laun:
Pendekatan Bangunan Rumah
Pendekatan Klas Ukuran Bangunan Rumah
Pendekatan Klas Ukuran Bangunan Rumah dengan Survei
Ketiga metode tersebut sekaligus menunjukkan
tingkat ketelitian.
Metode 1 dilakukan hanya dengan menentukan
jumlah bangunan rumah.
Metode 2 : menentukan jumlah bangunan
rumah berdasarkan klasifikasi rumah besar, sedang dan kecil dengan asumsi
jumlah jiwa semakin banyak di rumah yang lebih besar.
Rata-rata penghuni untuk tiap kelas
ukuran bangunan rumah ditentukan dengan asumsi (karena tidak pakai survei
dahulu) baru dikalikan jumlah bangunan rumah masing-masing kelas, kemudian
dijumlahkan total.
Metode 3 : sama seperti metode 2
hanya saja rata-rata penghuni untuk tiap kelas ukuran bangunan rumah ditentukan
berdasarkan survei terlebih dahulu, bukan dengan asumsi. Citra diinterpretasi
bangunan rumahnya sesuai ukuran, kemudian menentukan sampel rumah yang akan
disurvei, hasilnya dijadikan pedoman untuk menghitung rata-rata penghuni tiap
kelas ukuran bangunan rumah.
Ketiga, lakukan pembelajaran
secara saintifik (meskipun cuma sederhana) dengan
Langkah Metode 1
Menentukan
AOI (Area of Interest) atau area terpilih (missal :
blok, RT, atau desa/kelurahan) dengan membatasi zona atau wilayahnya.
Menentukan
bangunan rumah dengan memberi tanda (digitasi point bila mengggunakan GIS), bisa juga
secara manual dengan memprint citra.
Menghitung
jumlah bangunan rumah yang sudah ditandai dengan point atau tanda lain
dalam citra.
Menentukan
rata-rata jumlah penghuni (dengan asumsi, missal satu rumah rata-rata
dihuni 5 orang).
Menghitung jumlah
total penghuni dengan cara mengalikan hasil no. 2 dan no 4.
Hasil no 5
adalah hasil perkiraan jumlah penduduk di area yang dipilih.
Gambar 2. CSRT digunakan untuk Metode 1 (Sumber: Citra Quickbird Kabupaten Klaten 2018)
Perhitungan Metode
1:
Apabila
diasumsikan rata-rata penghuni untuk tiap bangunan rumah (point warna hijau)
sebanyak 5 orang, maka jumlah penduduk pada zona tersebut kurang lebih sebanyak
:
Jumlah
Penduduk = jumlah point x rata-rata penghuni per rumah
Apabila
terhitung jumlah point sebanyak 41 buah, maka jumlah penduduk zona tersebut
sebanyak 41 x 5 = 205 jiwa
Langkah Metode 2
Menentukan AOI (Area of
Interes) atau area terpilih (missal : blok, RT, atau desa/kelurahan) dengan
membatasi zona atau wilayahnya
Menentukan bangunan rumah
dengan memberi tanda (digitasi point bila mengggunakan GIS) berdasarkan kelas
ukuran relative bangunan rumah (kecil, sedang dan besar)
Menghitung jumlah bangunan
rumah yang sudah ditandai dengan point atau tanda lain dalam citra untuk setiap
ukuran rumah
Menentukan rata-rata jumlah
penghuni (dengan asumsi) misal satu rumah kecil 3 orang, rumah sedang 5 orang
dan rumah besar 7 orang
Menghitung jumlah total
penghuni tiap ukuran rumah dengan cara mengalikan jumlah rumah tiap ukuran
dengan rerata jumlah penghuni masing-masing
Menghitung jumlah total
penduduk zona terpilih dengan menjumlahkan hasil nomor 5
Gambar 3. CSRT digunakan untuk Metode 2 (Sumber: CItra Quickbird Kabupaten Klaten 2018)
Perhitungan
Metode 2:
Rumah
kecil jumlah 13 buah, rerata penghuni 3, jumlah 39
Rumah
sedang jumlah 21 buah, rerata penghuni 5, jumlah 105
Rumah
besar jumlah 7 buah, rerata penghuni 7, jumlah 49
Berdasarkan perhitungan di atas, maka
jumlah total penghuni sebagai perwujudan jumlah penduduk sebesar 39+105+49 =
193 jiwa
Langkah Metode 3
Menentukan AOI (Area of Interes)
atau area terpilih (missal : blok, RT, atau desa/kelurahan) dengan
membatasi zona atau wilayahnya
Menentukan bangunan rumah dengan
memberi tanda (digitasi point bila mengggunakan GIS) berdasarkan kelas
ukuran relative bangunan rumah (kecil, sedang dan besar)
Menghitung jumlah bangunan rumah
yang sudah ditandai dengan point atau tanda lain dalam citra untuk setiap
ukuran rumah
Menentukan rata-rata jumlah
penghuni (berdasarkan hasil survei) misal satu rumah kecil 3 orang, rumah
sedang 5 orang dan rumah besar 7 orang
Menghitung jumlah total penghuni
tiap ukuran rumah dengan cara mengalikan jumlah rumah tiap ukuran dengan
rerata jumlah penghuni masing-masing
Menghitung jumlah total penduduk
zona terpilih dengan menjumlahkan hasil nomor 5
Metode
3 hampir sama dengan metode 2. Perbedaan hanya pada penentuan
rata-rata penghuni tiap klas ukuran bangunan rumah. Metode
3 lebih mendekati kebenaran, karena rata-rata penghuni ditentukan bukan
berdasarkan asumsi melainkan fakta.
Citra dengan Quickbird
memerlukan biaya, kemungkinan guru ataupun pihak sekolah kesulitan untuk
pengadaannya (Sigit, A.A. 2020). Google
Earth dapat menjadi solusi dalam penyediaan citra Penginderaan Jauh. Citra
Resolusi Sangat Tinggi (CSRT) dapat disediakan oleh Google Earth Pro (GEP). Google Earth dapat diakses secara
gratis, memudahkan dalam membedakan bentang lahan alamiah dan buatan, membantu belajar
memvisualkan, dan memahami proses spasial yang terjadi di permukaan bumi (Oktavianto, 2017). Jadi, Metode 1, 2, dan
3 dalam perhitungan penduduk dapat juga digunakan melalui Google Earth.
Gambar 4. Citra Resolusi Sangat Tinggi (CSRT) dari Google Earth Pro (Sumber: Google Earth Pro)
Catatan:
Perkiraan
jumlah penduduk ini hanyalah sebuah pendekatan, sehingga sangat dimungkinkan
adanya perbedaan dengan hasil sensus. Perkiraan jumlah penduduk
melalui aplikasi Penginderaan Jauh ini dapat membantu analisis
saat data jumlah penduduk bukan dihitung berdasarkan zona administrasi
tertentu, namun berdasarkan batas zona analisis terkait dengan tujuan dari
sebuah kajian dilakukan (Sigit, A.A., 2020).
Daftar Pustaka Utama:
Sigit, A. A. (2020). Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk
Pembelajaran Geografi. Bahan Kuliah, disampaikan pada Kuliah Online dengan Guru
Geografi Indonesia pada 18 April 2020.
Daftar Pustaka:
Al-Matna, A. T. (2018). PENGEMBANGAN
MEDIA PEMBELAJARAN PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI BERBASIS
SMART CAM COPTER (SMARTPHONE CAMERA QUADCOPTER) PADA SMA KELAS 12 IPS DI MAN 2
KEDIRI. SKRIPSI Jurusan Geografi – Fakultas Ilmu Sosial UM, 0(0).
http://karya-ilmiah.um.ac.id/index.php/Geografi/article/view/66019
Bagus Suprayogi, M., & Perdana
Prasetya, S. (2020). PENGEMBANGAN MEDIA DIORAMA GEOGRAFI PADA MATERI
PENGINDERAAN JAUH KELAS X UNTUK SMA/MA. Swara Bhumi, 1(1).
https://jurnalmahasiswa.unesa.ac.id/index.php/swara-bhumi/article/view/31991
Cheung, Y., Pang, M., Lin, H., &
Lee, C. K. J. (2011). Enable Spatial Thinking Using GIS and Satellite Remote
Sensing – A Teacher-Friendly Approach. Procedia – Social and Behavioral
Sciences, 21, 130–138. https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2011.07.014
Fitria Rahmawati, R. (2014). Pengaruh
Penggunaan Media Pembelajaran Flash Dan Gaya Belajar Terhadap Hasil Belajar
Siswa Pelajaran Geografi KD Menjelaskan Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh
Kelas XII IPS SMA Negeri 2 Mejayan Kabupaten Madiun. Swara Bhumi, 2(1).
https://jurnalmahasiswa.unesa.ac.id/index.php/swara-bhumi/article/view/7500
Hanim, F., Sumarmi, S., &
Amirudin, A. (2016). PENGARUH PENGGUNAAN MULTIMEDIA PEMBELAJARAN INTERAKTIF
PENGINDERAAN JAUH TERHADAP HASIL BELAJAR GEOGRAFI. Jurnal Pendidikan: Teori,
Penelitian, dan Pengembangan, 1(4), 752–757.
https://doi.org/10.17977/jp.v1i4.6246
Irawan, L. Y. (2014). Pengaruh Model
Project Based Learning terhadap Kemampuan Menginterpretasi Citra Penginderaan
Jauh Siswa MA. DISERTASI dan TESIS Program Pascasarjana UM, 0(0).
http://karya-ilmiah.um.ac.id/index.php/disertasi/article/view/34235
Manzano-Agugliaro, F., Castro-García,
M., Pérez-Romero, A. M., García-Cruz, A., Novas, N., & Salmerón-Manzano, E.
(2016). Alternative methods for teaching cadastre and remote sensing. Survey
Review, 48(351), 450–459.
https://doi.org/10.1179/1752270615Y.0000000046
Mountrakis, G., &
Triantakonstantis, D. (2012). Inquiry-Based Learning in Remote Sensing: A Space
Balloon Educational Experiment. Journal of Geography in Higher Education,
36(3), 385–401. https://doi.org/10.1080/03098265.2011.638707
Nellis, M. D. (1994). Technology in
Geographic Education: Reflections and Future Directions. Journal of
Geography, 93(1), 36–39. https://doi.org/10.1080/00221349408979683
Oktavianto, D. A. (2017). PENGARUH
PEMBELAJARAN BERBASIS PROYEK BERBANTUAN GOOGLE EARTH TERHADAP KETERAMPILAN
BERPIKIR SPASIAL. Jurnal Teknodik, 21(1), 059.
https://doi.org/10.32550/teknodik.v21i1.227
Rochaeni, E. (2019). PENGGUNAAN MEDIA
PEMBELAJARAN GEOGRAFI DRONE MELALUI METODE DEMONSTRASI PADA MATERI PENGINDERAAN
JAUH (Studi di Kelas XII SMA Negeri 9 Kota Tasikmalaya). Jurnal METAEDUKASI,
1(2). http://jurnal.unsil.ac.id/index.php/metaedukasi/article/view/1211
Wahyudi, A. (2012). Pengembangan
Multimedia Pembelajaran Interaktif Mata Pelajaran Geografi, Materi Penginderaan
Jauh Untuk SMA/MA Kelas XII. (Tesis). DISERTASI dan TESIS Program
Pascasarjana UM, 0(0). http://karya-ilmiah.um.ac.id/index.php/disertasi/article/view/22990
Wardana, F., Utaya, S., & Bachri, S. (2019). Media Penginderaan Jauh Berbasis Android dalam Pembelajaran Geografi SMA. Jurnal Pendidikan: Teori, Penelitian, dan Pengembangan, 4(7), 863–868. https://doi.org/10.17977/jptpp.v4i7.12615
Gambar 1. Media Pembelajaran Blast Hole Drilling Sumber: Jurusan Geologi Pertambangan SMKN 1 Binuang
Belajar
geosains terkadang membosankan, apalagi kalau materinya hanya berupa
tulisan-tulisan panjang lebar tanpa disertai dengan keterangan gambar, alat
peraga, maket (tiruan mini) dari fenomena geosains yang diajarkan.
Kesemuanya itu
termasuk media pembelajaran. Briggs (1977) menyatakan bahwa media pembelajaran
merupakan sarana fisik untuk menyampaikan isi / materi pembelajaran. Sedangkan
Schramm (1977) mengartikan media pembelajaran sebagai teknologi pembawa pesan
(atau informasi) yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan pembelajaran.
Pakar
psikologi pendidikan bernama Gagne (1990) mengatakan bahwa media pembelajaran
merupakan sejenis komponen dalam lingkungan siswa, yang dapat merangsang mereka
untuk belajar.
Dapat kita
simpulkan bahwa media pembelajaran merupakan bagian dari proses pembelajaran
yang berupa sarana fisik, atau teknologi yang terintegrasi dengan lingkungan
belajar siswa, sehingga dapat digunakan untuk penyampaian informasi dari pendidik
(guru) kepada siswa, sekaligus perangsang siswa untuk berpikir dan memahami
materi yang diajarkan.
Gambar 2. Media Pembelajaran Materi Blast Hole Drilling Sumber: Jurusan Geologi Pertambangan SMKN 1 Binuang
Jenis-Jenis Media Pembelajaran
Smaldino dkk (2015) menjelaskan klasifikasi utama dari media pembelajaran, yaitu:
Media teks: buku cetak, modul pembelajaran, Lembar Kerja Siswa (LKS), e-book, webpages.
Media audio: compact disk, presenter live, podcast
Media visual: poster, wallchart, photo, gambar yang interactive whiteboard,
Media video: program video pembelajaran, DVD (Digital Versatile Disc), streaming video,
Media Manipulatif: mockup, trainning kit, berbagai bangun matematik, simulator.
Gambar 3. Google Earth sebagai Media Pembelajaran Teknologi Geospasial Sumber: Dokumen Penulis
Dari berbagai
jenis media pembelajaran tersebut tidak semuanya dapat digunakan dalam satu
materi yang ada pada geosains. Untuk memanfaatkan sebuah media pembelajaran,
kita perlu mengenali karakteristik materi yang diajarkan.
Sebagai
contoh, dalam materi teori pembentukan bumi media pembelajaran yang paling
cocok adalah dengan video yang menampilkan proses pembentukkan bumi. Kalau
hanya kita tampilkan dalam bentuk tulisan, pasti anak akan bosan, dan akan
sulit memahami materi tersebut.
Manfaat Media Pembelajaran
Media
pembelajaran selain bermanfaat untuk mengembangkan daya pikir dan daya nalar
siswa agar dapat memahami materi secara utuh juga memberikan manfaat kepada
guru. Manfaat kepada guru yakni; membuat pembelajaran lebih menarik, membantu
guru menerangkan hal-hal yang tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata atau
tulisan saja, dan dapat menambah Penilaian Angka Kredit (PAK) bagi guru Pegwai
Negeri Sipil (PNS).
Untuk menambah
PAK, media pembelajaran masuk dalam unsur Pengembangan Keprofesian
Berkelanjutan yang berupa Karya Inovatif. Karya inovatif adalah karya hasil
pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni yang bermanfaat bagi
pendidikan dan/atau masyarakat.
Guru PNS
dapat membuat/memodifikasi alat pelajaran/peraga/praktikum untuk menambah angka
kredit (Permenpan No: PER/16/M.PAN-RB/11/2009). Tentunya alat tersebut kemudian
harus dibuatkan laporan dalam DUPAK (Dokumen Usulan Penilaian Angka Kredit)
yang diserahkan kepada Tim Penilai Angka Kredit. Jika media pembelajaran yang
kita buat dalam kategori kompleks maka angka kreditnya 4, sedangkan apabila
media pembelajaran tersebut sederhana angka kreditnya 2.
Jadi dari
sebuah media pembelajaran kita dapat memperoleh keuntungan yang sangat banyak.
Apalagi kalau media tersebut dapat diproduksi secara masal, tentu akan menambah
penghasilan bagi kita.
Ayo membuat
media pembelajaran!
Bahan Bacaan:
Gagne. 1990.
The Conditions of Learning. 3rd Ed. New York: Holt, Rinehart and Wilson.
Peraturan Menteri PAN RB Nomor 16 Tahun 2009.
Materi Bimtek Penilaian Angka Kredit Guru Pengawas dan Kepala Sekolah SMK Tingkat Provinsi Kalimantan Selatan,11 – 13 Juli 2019 di Hotel Rodhita Banjarmasin
Briggs. 1977.
Instructional Design Educational Technology Publication. New Jersey
Schramm.
1977. Big Media Little Media. London: Sage
Smaldino,
Lowther, & Russel. 2015. Instructional Technology and Media for Learning.
Pearson