Setelah postingan sebelumnya kita belajar pendekatan keruangan dan pendekatan ekologis, kini saatnya kita belajar pendekatan kompleks wilayah. Pendekatan ini tak lain merupakan integrasi dari pendekatan keruangan dan ekologis (Yunus, 2008). Holt-Jensen (2009) lebih memilih kata kombinasi daripada integrasi. Namun, kedua kata tersebut tidak memiliki perbedaan yang jauh.
Perlu digaris bawahi bahwa penggunaan istilah regional complex perlu disadari dan dipahami secara benar. Konsep ini menegaskan bahwa perlu adanya pemahaman mendalam tentang property di wilayah bersangkutan dan merupakan regional entity (Yunus, 2008). Yang menjadi dasar dalam pendekatan ini ialah kompleksitas gejala dari eksistensi suatu wilayah, di samping efek internalitas dan eskternalitas pada wilayah tersebut.
Letak utama dari unit analisis dalam pendekatan ini adalah perbedaan area (areal differentiations). Caranya ialah dengan membuat garis dan arus (lines and flow) dari masing-masing wilayah, selanjutnya dilakukan pengamatan (Holt-Jensen, 2009). Areal differentiations tiap-tiap satuan wilayah dapat diketahui dengan cara diidentifikasi.
Isitilah regional dan areal differentiations pertama kali dikenalkan oleh Hartshorne (1939), menyatakan bahwa geografi belajar tentang perbedaan wilayah. Inti dari geografi regional ialah mengenai kekhasan wilayah (unique places). Dalam bahasa yang dipakai Taaffe (1974) disebutnya “unique phenomena” (Dalam Khabazi, 2018)
Kedua, mengamati bagaimana tiap-tiap area terhubung satu sama lain secara sistematis untuk memperoleh gambaran struktur dan fungsional masing-masing area yang lebih luas (sedang).
Ketiga, mengamati area sedang dengan area sedang yang lainnya untuk mengetahui bagaimana area-area tersebut membentuk suatu region (area luas).
Keempat, mengamati bagaimana area luas (region) dengan region lainnya dapat terhubung dan bagaimana pengaturannya (Khabazi, 2018).
Ukuran region tergantung topik (tema) penelitian yang dilakukan, dapat pula berwujud batasan fisik DAS (Daerah Aliran Sungai) ataupun batasan non fisik yang dibuat berdasarkan kriteria tertentu.
Holt-Jensen, A. 2009. Geography History and Concepts : A Student’s Guide. London: SAGE
Khabazi, M. 2018. Regional Geography and Quantitative Geography: Compare and Contrast
Yunus, H.S. 2008. Konsep dan Pendekatan Geografi: Memaknai Hakekat Keilmuannya. Makalah disampaikan dalam Sarasehan Forum Pimpinan Pendidikan Tinggi Geografi Indonesia pada tanggal 18-19 Januari 2008 di Fakultas Geografi UGM Yogyakarta.
Bab I Geografi SMA Kelas X antara lain berisi materi Pendekatan Geografi. Materi ini masih sangat debatable (sering menimbulkan perdebatan) di internal geografiawan. Guru geografi pun masih banyak yang limbung dan linglung jikalau ditanya siswa atau kolega mengenai ketiga pendekatan ini. Dalam pencak silat, Pendekatan Geografi seperti halnya kuda-kuda. Jadi harus kuat.
Bahkan soal Ujian Nasional, sebelum UN ditiadakan hampir dipastikan (100%) materi pendekatan geografi muncul, dan banyak siswa yang salah menjawab. Ketika guru geografi membahasnya dalam MGMP ataupun melalui media lain semacam grub WA, juga sering berbeda jawaban.
Permasalahan semacam ini mungkin yang menjadi keprihatinan Prof Hadi Sabari Yunus, dengan mengibaratkan dalam kalimat “adverse negative impact.”
Pendekatan Geografi yang ada tiga (spatial, ecological, regional complec approach) merupakan fitrah ilmu geografi (Yunus, 2008). Yang harus dijiwai setiap geografiawan, agar peran ilmu geografi tidak semakin termarginalkan. Pada perkembangannya ketiga pendekatan itu dapat tarik menarik.
Perlu digaris bawahi bahwa pendekatan merupakan suatu metode analisis (pisau analisis) dalam menelaah sebuah fenomena.
Pada kesempatan kali ini akan dibahas mengenai pendekatan keruangan.
Pendekatan Keruangan (Spatial Approach)
Pendekatan ini menekankan analisisnya pada eksistensi ruang (space) sebagai wadah untuk mengakomodasi kegiatan manusia dalam menjelaskan fenomena geosfer (Yunus, 2008).
Pendekatan geografi berkaitan erat dengan objek kajian geografi yang berupa geospheric phenomena (fenomena geosfer), maka segala sesuatunya dalam objek tersebut dapat diamati dengan menggunakan sembilan matra (tema).
Kesembilan matra tersebut ialah (1) pola (pattern); (2) struktur (structure); (3) proses (process); (4) interaksi (interaction); (5) organisasi dalam sistem keruangan (organisation within spatial system); (6) asosiasi (association); (7) tendensi atau kecenderungan (tendencies or trends); (8) pembandingan (comparation); dan (9) sinergisme keruangan (spatial synergism).
Dengan demikian dapat dikembangan sembilan pendekatan keruangan (spatial approach)
(1) spatial pattern analysis;
(2) spatial structure analysis;
(3) spatial process analysis;
(4) spatial interaction analsis;
(5) spatial association analysis;
(6) spatial organisation analysis;
(7) spatial tendency/trends analysis;
(8) spatial comparison analysis;
(9) spatial synergism analysis.
Seorang geografiawan tidak harus melaksanakan sembilan tema tersebut secara bersamaan, karena sebagai manusia kita memiliki keterbatasan waktu, biaya dan tenaga. Memilih satu atau beberapa tema, serta menjelaskan operasionalisasi pendekatannya sangat dimungkinkan dan tidak mengurangi kadar keilmuannya.
Spatial Pattern Analysis
Penekanan utama dari analisis ini adalah sebaran pada elemen-elemen pembentuk ruang. Tahap awal dari analisis ini berupa identifikasi, selanjutnya menjawab geographic questions (pertanyaan geografi) berupa 5W+1H.
What: Fenomena apa yang diteliti?
Where: Dimana fenomena tersebut terjadi?
When: Kapan kenampakan fenomena tersebut ada?
Why: Mengapa terjadi penampakan seperti itu?
Who: Siapa yang mendiami?
How: Bagaimana proses pengelompokan tersebut dapat terjadi?
Uraian yang mengemukakan mengenai jawaban 5W+1H ini harus tercermin dalam daftar isi makalah yang dibuata oleh geografiawan. Kedalaman analisis akan terlihat dari penekanan jawaban yang dimunculkan.
Analisis ini bertumpu pada susunan elemen-elemen pembentuk ruang. Struktur keruangan dapat berupa fenomena fisikal dan non fisikal. Sebagai contoh daerah agraris, dengan pemanfaatan 75% lahan untuk pertanian, dan 25% untuk lainnya. Untuk memperdalam analisis ini dapat digunakan pertanyaan why, who, dan how. Namun jika hanya ingin mengetahuai deskripsinya, dapat digunakan pertanyaan what, when, dan where.
Analisis ini menekankan pada proses keruangan yang biasanya divisualisasikan pada perubahan ruang. Perubahan tesebut dapat dikemukakan secara kuantitatif dan kualitatif. Setiap perubahan tidak dapat dilepaskan dari waktu kejadiannya, sehingga aspek temporal menjadi peranan utama dalam analisis ini (Yunus, 2008).
Memandingkan sebuah kota atau wilayah pada tahun 1990 dan tahun 2000 tentang perubahan bentang lahannya merupakan contoh fenomena geofer yang dapat dianalisis dengan tema ini. Diperlukan foto udara, ataupun citra satelit multi-temporal untuk fenomena ini. Analsis lebih lanjut dari fenomena temporan dapat dikembangkan dengan menjawab pertanyaan, bagaimana perubahan itu terjadi dan dampak apa saja yang mungkin timbul dari perubahan tersebut?
Analisis dengan tema ini menekankan pada interaksi antar ruang. Hubungan timbal balik antara ruang yang satu dengan yang lain mempunyai variasi yang sangat besar, sehingga upaya-upaya mengenali faktor pengontrol interaksi menjadi sedemikian penting. Analisis lebih lanjut dengan berusaha menjawab pertanyaan mengapa terjadi interaksi dan bagaimana interaksi terjadi?
Analisis ini bertujuan untuk mengetahui elemen-elemen lingkungan mana yang berpengaruh terhadap terciptanya tatanan spesifik dari elemen-elemen pembentuk ruang. Penekanan utamnya pada keterkaitan kenampakan yang satu dengan yang lain secara individu. Perbedaan antara analisis ini dengan analisis pola adalah pada analisis pola kekhasan aglomerasi menjadi kunci, sedangkan pada analisis organisasi hubungan dan hirarkhi antar elemen menjadi faktor utama.
Analisis ini bertujuan untuk mengungkapkan terjadinya asosiasi keruangan antar berbagai kenampakan pada suatu ruang. Untuk mengetahui ada atau tidaknya asosiasi keruangan antar variabel satu dengan lainnya dapat dilakukan dengan menganalisis visualisasi peta dan dengan metode analisis statistik. Apakah ada asosiasi keruangan antara kepadatan penduduk dengan peningkatan tindak kriminal di beberapa tempat di kota?
Analisis ini menekankan upaya mengetahui kecenderungan perubahan suatu gejala. Pertanyaan seperti ke arah manakah perkembangan Kota Surakarta? Merupakan salah satu contoh fenomena geosfer yang harus dijelaskan dengan analisis ini. Ya memang benar analisis ini merupakan kelanjutan dari tema analisis sebelumnya, seperti spatial pattern analysis, sapatial structure, spatial process, dan spatial asociation. Membaca trend perekembanganfenomena geosfer seperti perkembangan permukiman disarankan menggunakan analisis ini.
Analisis ini mempunyai tujuan untuk mengetahui keunggulan dan kelemahan suatu ruang dibandingkan dengan ruang lainnya. Studi banding merupakan salah satu contoh kegiatan dalam analisis semacam ini. Fenomena terbaru ialah pemilihan Ibukota di Indonesia baru-baru ini, dari ketiga calon ibu kota, yakni Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur. Dipilihlah Kalimantan Timur sebagai letak Ibukota negara Indonesia yang baru, berdasarkan berbagai aspek multi disiplin keilmuan.
Analisis ini akan sangat berguna untuk merencanakan, mengaplikasikan dan mengevaluasi konsep pembangunan kerja sama antar wilayah, seperti Jabodetabek, Joglosemar, Kartamantul, Gerbang Kertasusila, Banjarbakula dan lain sebagainya. Selama ini kerja sama antar wilayah masih sekedar penamaan, belum mengintegrasikan visi antar wilayah, sehingga terkesan masing-masing wilayah berjalan sendiri-sendiri.
Belajar pendekatan spasial memang tidak bisa dilepaskan dari peta. Ruang (space) memang lebih mudah dipelajari dengan peta. Jadi jika kalian sedang belajar geografi, jangan lupakan peta. Seperti pada Kartun Dora The Explorer.
Daftar Pustaka:
Yunus, H.S. 2008. Konsep dan Pendekatan Geografi: Memaknai Hakekat Keilmuannya. Makalah disampaikan dalam Sarasehan Forum Pimpinan Pendidikan Tinggi Geografi Indonesia pada tanggal 18-19 Januari 2008 di Fakultas Geografi UGM Yogyakarta.
Tulisan ini terinspirasi dari Kuliah Online, yang difasilitasi Fakultas Geografi Universitas Muhammadiyah Surakarta (16 s.d 22 April 2020)
Permasalahan Dalam Pembelajaran Penginderaan Jauh
Geografi pada Kurikulum 2013 memiliki tujuan agar siswa mampu memahami pola spasial, lingkungan dan kewilayahan serta proses yang berkaitan dengan gejala geosfera dalam konteks nasional dan global. Selain itu juga bertujuan agar siswa menguasai keterampilan dasar dalam memperoleh data dan informasi geografis.
Dalam dua tujuan tersebut dapat dikatakan bahwa salah satu materi utama dalam geografi di Tingkat SMA adalah Penginderaan Jauh. Materi ini mempunyai keunggulan untuk memaksimalkan pemahaman pola spasial, kelingkungan dan kewilayah bagi siswa, dan juga dapat memberikan keterampilan dalam memperoleh data dan informasi geografis bagi siswa.
Pembelajaran Penginderaan
Jauh yang sangat penting, dibarengi dengan tingkat kompleksitas yang tinggi
membuat guru SMA mengalami kesulitan. Berbagai permasalahan dalam pembelajaran
Penginderaan Jauh di tingkat SMA antara lain; 1) Guru kurang menguasai materi
Penginderaan Jauh sehingga masih menjadi kendala dalam memahami dan
menyampaikan materinya; 2) Guru kurang menggunakan metode pembelajaran yang
bervariasi dalam mengajar Penginderaan Jauh; 3) Guru dalam proses pembelajaran
tidak menggunakan media yang sesuai dengan materi; 4) Guru tidak pernah
mengikuti pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan oleh lembaga pendidika (Ningsih
dkk., 2016).
Masalah yang disampaikan di
atas bersumber dari guru geografinya. Selain dari guru tentu masalah juga dapat
disebabkan oleh kesalahan kurikulum pada materi penginderaan jauh, intake
siswa, ataupun daya dukung sarana dan prasarana yang ada di Sekolah.
Seperti kita ketahui, bahwa
di tingkat SMA geografi dimasukkan ke dalam rumpun Ilmu Pengetahuan Sosial
(IPS) atau Ilmu-ilmu Sosial. Tidak seperti rumpun Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)
atau MIA, sebagian besar sekolah belum menyediakan laboratorium khusus bagi geografi
untuk kegiatan pembelajaran.
Fokus pembelajaran
Penginderaan Jauh di SMA sepertinya masih pada taraf kognitif. Hal ini berbeda
di luar negeri, siswa setingkat SMA dilatih memanfaatkan Penginderaan Jauh
untuk memahami materi geografi lainnya (Cheung dkk., 2011), jadi fokus mereka pada pemanfaatan Teknologi Penginderaan
Jauh. Penginderaan jauh merupakan salah satu teknologi untuk memahami proses
keruangan (spasial) dan membantu berpikir secara geografis (think geographically) (Nellis, 1994).
Sering kita jumpai soal
ulangan harian atau bahkan Penilaian Akhir Semester (PAS) yang lebih fokus pada
pengukuran tingkat kognitif anak.
Pertanyaan seperti, Bagaimana definisi Penginderaan Jauh menurut
Lillesan & Kiefer? Masih menjadi soal favorit bagi guru-guru geografi.
Penugasan portofolio masing
jarang dilakukan. Padahal jenis penialain seperti ini lebih memungkinkan untuk
mengukur tingkat kognitif, psikomotorik, dan bahkan afektif siswa. Perlu adanya
penugasan portofolio dengan menggunakan teknologi Penginderaan Jauh.
Penelitian Terdahulu Dalam Pembelajaran Penginderaan
Jauh
Berbagai media pembelajaran
digunakan dalam pembelajaran geografi. Penggunakan media pembelajaran
interaktif terbukti efektif dalam meningkatkan hasil belajar siswa pada materi
Penginderaan Jauh (Hanim dkk., 2016) (Wahyudi, 2012), sayang kedua penelitian ini tidak menyebutkan medianya
secara spesifik seperti apa. Media pembelajaran berbasis Android efektif dalam
pembelajaran penginderaan jauh (Wardana dkk., 2019), sayangnya dalam penelitian ini juga tidak menyebutkan
secara spesifik nama dari aplikasi yang digunakan. Pembelajran materi ini juga
dapat mengggunakan diorama (Bagus Suprayogi & Perdana
Prasetya, 2020). Media pembelajaran
berbasis flash tidak cocok untuk pembelajaran penginderaan jauh (Fitria Rahmawati, 2014).
Bermacam model pembelajaran
juga telah digunakan dalam pembelajaran Penginderaan Jauh. Model pembelajaran
yang disarankan untuk materi Penginderaan Jauh adalah Project-Based Learning (Irawan, 2014). Inquiry-Based Learning dengan menggunakan balon udara juga
efektif dalam pembelajaran (Mountrakis & Triantakonstantis,
2012). Pengajaran Penginderaan
jauh dapat dilakukan dengan tatap muka (face-to-face),
blended, dan online, namun dari ketiganya yang paling efektif adalah pengajaran
online (Manzano-Agugliaro dkk., 2016). Pembelajaran online ini tentunya disertai penugasan
portofolio.
Teknologi terbaru dan modern
telah dimanfaatkan untuk pembelajaran geografi. Drone dapat membuat siswa fokus
memperhatikan materi penginderaan jauh pada sub materi citra foto udara (Rochaeni, 2019). Smarthphone Camera
Quadcopter mampu meningkatan motivasi siswa dalam belajar materi
penginderaan jauh (Al-Matna, 2018). Pemanfaatan teknologi memungkinkan dapat membantu
tercapainya tujuan pembelajaran Penginderaan Jauh.
Penginderaan Jauh dapat
dijadikan alat dalam melakukan analisis spasial terhadap objek kajian geografi.
Hal ini yang sering kali Guru Geografi lewatkan. Sebagian besar dari kita hanya
berfokus memberikan materi Penginderaan Jauh, seperti pengertiannya, perbedaan
foto udara dan citra satelit, pengertian interpretasi citra, jenis-jenis citra
dan lain sebagainya. Materi yang diberikan sering kali hanya berfokus pada buku
paket, sehingga kesannya sangat tekstual dan berupa menjejali otak siswa dengan
kognitif, tanpa dibarengi membekali siswa keterampilan (psikomotorik) dalam
memanfaatkan Penginderaan Jauh.
Google Earth Sebagai Solusi
Solusi ini disampaikan oleh
Bapak Agus Anggoro Sigit, M.Sc (Dosen Fakultas Geografi Universitas
Muhammadiyah Surakarta) dalam Kuliah Online (Kulon) dengan Guru-Guru Geografi
Indonesia yang tergabung dalam Komunitas Geografi pada 18 April 2020. Solusi
ini digunakan untuk Materi Kependudukan dengan memanfaatkan Teknologi
Penginderaan Jauh.
Pertama, buat sebuah tugas proyek
portofolio yang menarik minat siswa untuk belajar. Sebagai contoh, Siswa
diminta menghitung
perkiraan jumlah penduduk dilakukan dengan pendekatan jumlah bangunan rumah.
Citra yang sesuai untuk digunakan adalah Citra Resolusi Sangat Tinggi (CRST)
seperti Quickbird atau Ikonos atau citra lain yang memiliki resolusi tinggi.
Mengapa disarankan CRST? Karena citra
ini memungkinkan bangunan rumah tersadap dengan jelas. Penggunaan Google Earth
Pro dimungkinkan karena mampu menampakkan obyek bangunan rumah dengan baik.
Berikut contoh Citra Satelit Resolusi Tinggi (CRST) Quickbird di sebagian daerah Kab. Klaten tahun
2018.
Gambar 1. CSRT di daerah Ceper, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah (Sumber: CItra Quickbird Kabupaten Klaten 2018)
Kedua, Berikan materi yang
aplikatif dan sederhana agar mudah dicerna oleh siswa. Siswa perlu dikenalkan
dengan metode (pendekatan) sederhana perhitungan penduduk dengan basis zonasi.
Metode (pendekatan) perhitungannya antara laun:
Pendekatan Bangunan Rumah
Pendekatan Klas Ukuran Bangunan Rumah
Pendekatan Klas Ukuran Bangunan Rumah dengan Survei
Ketiga metode tersebut sekaligus menunjukkan
tingkat ketelitian.
Metode 1 dilakukan hanya dengan menentukan
jumlah bangunan rumah.
Metode 2 : menentukan jumlah bangunan
rumah berdasarkan klasifikasi rumah besar, sedang dan kecil dengan asumsi
jumlah jiwa semakin banyak di rumah yang lebih besar.
Rata-rata penghuni untuk tiap kelas
ukuran bangunan rumah ditentukan dengan asumsi (karena tidak pakai survei
dahulu) baru dikalikan jumlah bangunan rumah masing-masing kelas, kemudian
dijumlahkan total.
Metode 3 : sama seperti metode 2
hanya saja rata-rata penghuni untuk tiap kelas ukuran bangunan rumah ditentukan
berdasarkan survei terlebih dahulu, bukan dengan asumsi. Citra diinterpretasi
bangunan rumahnya sesuai ukuran, kemudian menentukan sampel rumah yang akan
disurvei, hasilnya dijadikan pedoman untuk menghitung rata-rata penghuni tiap
kelas ukuran bangunan rumah.
Ketiga, lakukan pembelajaran
secara saintifik (meskipun cuma sederhana) dengan
Langkah Metode 1
Menentukan
AOI (Area of Interest) atau area terpilih (missal :
blok, RT, atau desa/kelurahan) dengan membatasi zona atau wilayahnya.
Menentukan
bangunan rumah dengan memberi tanda (digitasi point bila mengggunakan GIS), bisa juga
secara manual dengan memprint citra.
Menghitung
jumlah bangunan rumah yang sudah ditandai dengan point atau tanda lain
dalam citra.
Menentukan
rata-rata jumlah penghuni (dengan asumsi, missal satu rumah rata-rata
dihuni 5 orang).
Menghitung jumlah
total penghuni dengan cara mengalikan hasil no. 2 dan no 4.
Hasil no 5
adalah hasil perkiraan jumlah penduduk di area yang dipilih.
Gambar 2. CSRT digunakan untuk Metode 1 (Sumber: Citra Quickbird Kabupaten Klaten 2018)
Perhitungan Metode
1:
Apabila
diasumsikan rata-rata penghuni untuk tiap bangunan rumah (point warna hijau)
sebanyak 5 orang, maka jumlah penduduk pada zona tersebut kurang lebih sebanyak
:
Jumlah
Penduduk = jumlah point x rata-rata penghuni per rumah
Apabila
terhitung jumlah point sebanyak 41 buah, maka jumlah penduduk zona tersebut
sebanyak 41 x 5 = 205 jiwa
Langkah Metode 2
Menentukan AOI (Area of
Interes) atau area terpilih (missal : blok, RT, atau desa/kelurahan) dengan
membatasi zona atau wilayahnya
Menentukan bangunan rumah
dengan memberi tanda (digitasi point bila mengggunakan GIS) berdasarkan kelas
ukuran relative bangunan rumah (kecil, sedang dan besar)
Menghitung jumlah bangunan
rumah yang sudah ditandai dengan point atau tanda lain dalam citra untuk setiap
ukuran rumah
Menentukan rata-rata jumlah
penghuni (dengan asumsi) misal satu rumah kecil 3 orang, rumah sedang 5 orang
dan rumah besar 7 orang
Menghitung jumlah total
penghuni tiap ukuran rumah dengan cara mengalikan jumlah rumah tiap ukuran
dengan rerata jumlah penghuni masing-masing
Menghitung jumlah total
penduduk zona terpilih dengan menjumlahkan hasil nomor 5
Gambar 3. CSRT digunakan untuk Metode 2 (Sumber: CItra Quickbird Kabupaten Klaten 2018)
Perhitungan
Metode 2:
Rumah
kecil jumlah 13 buah, rerata penghuni 3, jumlah 39
Rumah
sedang jumlah 21 buah, rerata penghuni 5, jumlah 105
Rumah
besar jumlah 7 buah, rerata penghuni 7, jumlah 49
Berdasarkan perhitungan di atas, maka
jumlah total penghuni sebagai perwujudan jumlah penduduk sebesar 39+105+49 =
193 jiwa
Langkah Metode 3
Menentukan AOI (Area of Interes)
atau area terpilih (missal : blok, RT, atau desa/kelurahan) dengan
membatasi zona atau wilayahnya
Menentukan bangunan rumah dengan
memberi tanda (digitasi point bila mengggunakan GIS) berdasarkan kelas
ukuran relative bangunan rumah (kecil, sedang dan besar)
Menghitung jumlah bangunan rumah
yang sudah ditandai dengan point atau tanda lain dalam citra untuk setiap
ukuran rumah
Menentukan rata-rata jumlah
penghuni (berdasarkan hasil survei) misal satu rumah kecil 3 orang, rumah
sedang 5 orang dan rumah besar 7 orang
Menghitung jumlah total penghuni
tiap ukuran rumah dengan cara mengalikan jumlah rumah tiap ukuran dengan
rerata jumlah penghuni masing-masing
Menghitung jumlah total penduduk
zona terpilih dengan menjumlahkan hasil nomor 5
Metode
3 hampir sama dengan metode 2. Perbedaan hanya pada penentuan
rata-rata penghuni tiap klas ukuran bangunan rumah. Metode
3 lebih mendekati kebenaran, karena rata-rata penghuni ditentukan bukan
berdasarkan asumsi melainkan fakta.
Citra dengan Quickbird
memerlukan biaya, kemungkinan guru ataupun pihak sekolah kesulitan untuk
pengadaannya (Sigit, A.A. 2020). Google
Earth dapat menjadi solusi dalam penyediaan citra Penginderaan Jauh. Citra
Resolusi Sangat Tinggi (CSRT) dapat disediakan oleh Google Earth Pro (GEP). Google Earth dapat diakses secara
gratis, memudahkan dalam membedakan bentang lahan alamiah dan buatan, membantu belajar
memvisualkan, dan memahami proses spasial yang terjadi di permukaan bumi (Oktavianto, 2017). Jadi, Metode 1, 2, dan
3 dalam perhitungan penduduk dapat juga digunakan melalui Google Earth.
Gambar 4. Citra Resolusi Sangat Tinggi (CSRT) dari Google Earth Pro (Sumber: Google Earth Pro)
Catatan:
Perkiraan
jumlah penduduk ini hanyalah sebuah pendekatan, sehingga sangat dimungkinkan
adanya perbedaan dengan hasil sensus. Perkiraan jumlah penduduk
melalui aplikasi Penginderaan Jauh ini dapat membantu analisis
saat data jumlah penduduk bukan dihitung berdasarkan zona administrasi
tertentu, namun berdasarkan batas zona analisis terkait dengan tujuan dari
sebuah kajian dilakukan (Sigit, A.A., 2020).
Daftar Pustaka Utama:
Sigit, A. A. (2020). Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk
Pembelajaran Geografi. Bahan Kuliah, disampaikan pada Kuliah Online dengan Guru
Geografi Indonesia pada 18 April 2020.
Daftar Pustaka:
Al-Matna, A. T. (2018). PENGEMBANGAN
MEDIA PEMBELAJARAN PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI BERBASIS
SMART CAM COPTER (SMARTPHONE CAMERA QUADCOPTER) PADA SMA KELAS 12 IPS DI MAN 2
KEDIRI. SKRIPSI Jurusan Geografi – Fakultas Ilmu Sosial UM, 0(0).
http://karya-ilmiah.um.ac.id/index.php/Geografi/article/view/66019
Bagus Suprayogi, M., & Perdana
Prasetya, S. (2020). PENGEMBANGAN MEDIA DIORAMA GEOGRAFI PADA MATERI
PENGINDERAAN JAUH KELAS X UNTUK SMA/MA. Swara Bhumi, 1(1).
https://jurnalmahasiswa.unesa.ac.id/index.php/swara-bhumi/article/view/31991
Cheung, Y., Pang, M., Lin, H., &
Lee, C. K. J. (2011). Enable Spatial Thinking Using GIS and Satellite Remote
Sensing – A Teacher-Friendly Approach. Procedia – Social and Behavioral
Sciences, 21, 130–138. https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2011.07.014
Fitria Rahmawati, R. (2014). Pengaruh
Penggunaan Media Pembelajaran Flash Dan Gaya Belajar Terhadap Hasil Belajar
Siswa Pelajaran Geografi KD Menjelaskan Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh
Kelas XII IPS SMA Negeri 2 Mejayan Kabupaten Madiun. Swara Bhumi, 2(1).
https://jurnalmahasiswa.unesa.ac.id/index.php/swara-bhumi/article/view/7500
Hanim, F., Sumarmi, S., &
Amirudin, A. (2016). PENGARUH PENGGUNAAN MULTIMEDIA PEMBELAJARAN INTERAKTIF
PENGINDERAAN JAUH TERHADAP HASIL BELAJAR GEOGRAFI. Jurnal Pendidikan: Teori,
Penelitian, dan Pengembangan, 1(4), 752–757.
https://doi.org/10.17977/jp.v1i4.6246
Irawan, L. Y. (2014). Pengaruh Model
Project Based Learning terhadap Kemampuan Menginterpretasi Citra Penginderaan
Jauh Siswa MA. DISERTASI dan TESIS Program Pascasarjana UM, 0(0).
http://karya-ilmiah.um.ac.id/index.php/disertasi/article/view/34235
Manzano-Agugliaro, F., Castro-García,
M., Pérez-Romero, A. M., García-Cruz, A., Novas, N., & Salmerón-Manzano, E.
(2016). Alternative methods for teaching cadastre and remote sensing. Survey
Review, 48(351), 450–459.
https://doi.org/10.1179/1752270615Y.0000000046
Mountrakis, G., &
Triantakonstantis, D. (2012). Inquiry-Based Learning in Remote Sensing: A Space
Balloon Educational Experiment. Journal of Geography in Higher Education,
36(3), 385–401. https://doi.org/10.1080/03098265.2011.638707
Nellis, M. D. (1994). Technology in
Geographic Education: Reflections and Future Directions. Journal of
Geography, 93(1), 36–39. https://doi.org/10.1080/00221349408979683
Oktavianto, D. A. (2017). PENGARUH
PEMBELAJARAN BERBASIS PROYEK BERBANTUAN GOOGLE EARTH TERHADAP KETERAMPILAN
BERPIKIR SPASIAL. Jurnal Teknodik, 21(1), 059.
https://doi.org/10.32550/teknodik.v21i1.227
Rochaeni, E. (2019). PENGGUNAAN MEDIA
PEMBELAJARAN GEOGRAFI DRONE MELALUI METODE DEMONSTRASI PADA MATERI PENGINDERAAN
JAUH (Studi di Kelas XII SMA Negeri 9 Kota Tasikmalaya). Jurnal METAEDUKASI,
1(2). http://jurnal.unsil.ac.id/index.php/metaedukasi/article/view/1211
Wahyudi, A. (2012). Pengembangan
Multimedia Pembelajaran Interaktif Mata Pelajaran Geografi, Materi Penginderaan
Jauh Untuk SMA/MA Kelas XII. (Tesis). DISERTASI dan TESIS Program
Pascasarjana UM, 0(0). http://karya-ilmiah.um.ac.id/index.php/disertasi/article/view/22990
Wardana, F., Utaya, S., & Bachri, S. (2019). Media Penginderaan Jauh Berbasis Android dalam Pembelajaran Geografi SMA. Jurnal Pendidikan: Teori, Penelitian, dan Pengembangan, 4(7), 863–868. https://doi.org/10.17977/jptpp.v4i7.12615
Howard Gardner memperkenalkan teori
kecerdasan ganda (multiple intelligences). Salah satu kecerdasan ganda yang ada pada otak manusia dan
berpotensi untuk dikembangan adalah kecerdasan visual-spasial. Kecerdasan ini
merupakan istilah lain dari bepikir spasial (keruangan).
Berpikir spasial meliputi gabungan
dari mengenali, memanipulasi, menginterpretasi, memprediksi, dan menggunakan
pengetahuan spasial untuk pengetahuan lain. Geosains yang merupakan ilmu
kebumian memiliki dimensi spasial (keruangan).
Dalam belajar geosains siswa/mahasiswa harus mampu mengenali bentuk sebuah benda tiga dimensi (batuan, struktur geologi, stratigrafi dan lain-lain) yang kemudian ditampilkan menjadi bentuk dua dimensi.
Sebagai contoh siswa/mahasiswa harus mampu menggambarkan outcrop (singkapan) yang mereka temui di alam ke dalam buku gambar yang mereka miliki. Hal ini diperlukan keterampilan berpikir spasial oleh siswa/mahasiswa yang sedang belajar geosains.
Selain hal di atas, berpikir spasial
juga dapat digunakan dalam berbagai kegiatan yang berkaitan dengan geosains. Berpikir
spasial dalam geosains memiliki banyak kegunaan, diantaranya:
mendeskripsikan bentuk suatu objek secara jelas;
mengidentifikasi atau mengklasifikasikan objek berdasarkan bentuknya;
memberi makna terhadap bentuk objek alami;
mengenali bentuk atau pola di tengah latar belakang yang berantakan;
memvisualisasikan objek atau struktur tiga dimensi dalam satu atau dua dimensi;
menggambarkan posisi dan orientasi objek yang Anda temui di dunia nyata terhadap sistem koordinat yang ditambatkan ke Bumi;
mengingat lokasi dan penampilan benda yang terlihat sebelumnya; membayangkan gerakan benda atau bahan melalui ruang dalam tiga dimensi; membayangkan proses dimana benda berubah bentuk; menggunakan pemikiran spasial untuk memikirkan waktu.
Jadi dapat disimpulkan bahwa siswa/mahasiswa yang belajar geosains harus memiliki keterampilan berpikir spasial awal yang potensial. Saat belajar matari-materi geosains keterampilan berpikir spasial mereka akan berkembang dengan baik. Sebagai penunjang dalam memahami bumi, khususnya yang berkaitan dengan ilmu geosains.
Daftar Bacaan
National Research Council 2006. Learning to Think Spatially. Washington, DC: The National Academies Press.
Dwi Angga Oktavianto, Sumarmi, Budi Handoyo. 2017. Pengaruh Pembelajaran Berbasis Proyek Berbantuan Google Earth Terhadap Keterampilan Berpikir Spasial. Jurnal Teknodik, Vol.21, No.1, hal.1-11.
Howard Gardner. 2006. The Development and Educational of the Mind. New York: Taylor & Francis.
Kim A. Kastens & Cathryn A. Maduca. Earth and Mind II. Colorado: The Geological Society of America, Inc.